Header Ads

Shalat dengan Pakaian yang Diharamkan

Shalat dengan Pakaian yang Diharamkan - Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram.

  • Diperoleh dengan cara yang haram, mungkin dengan mencuri ataupun merampasnya dari orang lain atau yang semisalnya.

  • Zat pakaian itu haram, seperti pakaian sutera dan emas [1] yang diharamkan bagi laki-laki [2] untuk memakainya atau pakaian yang bergambar makhluk hidup (manusia dan hewan).

  • Sifat pakaian itu haram, seperti seorang laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya [3].
Shalat mengenakan pakaian yang diharamkan tersebut hukumnya haram. Lantas, apakah shalat yang dikerjakan sah ataukah batal? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Namun pendapat yang menenangkan hati kami dan ini merupakan pendapat mayoritas ahlul ilmi adalah shalatnya tetap sah, tidak batal. Pelakunya dianggap telah berbuat maksiat karena melakukan perbuatan yang diharamkan, yakni memakai pakaian yang diharamkan. Ketika syariat melarang mengenakan sebuah pakaian secara mutlak pada saat menunaikan shalat ataupun di luar shalat, maka ini tidaklah mengandung konsekuensi batalnya shalat yang dikerjakan dengan memakai pakaian tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/448)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Footnote:

[1] Baik emas itu berupa perhiasan seperti cincin, kalung, dan sebagainya, ataupun berupa benang emas yang dengannya ditenun sebuah kain.

[2] Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan disebutkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Diharamkan memakai sutera dan emas bagi kalangan laki-laki dari umatku dan dihalalkan bagi kalangan wanitanya.”

Hadits di atas menurut lafadz At-Tirmidzi (no. 1720), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberiku pakaian dari sutera bergaris maka aku pun keluar mengenakannya. Ketika beliau melihat apa yang aku lakukan, tampaklah kemarahan di wajah beliau, maka aku pun membagi-bagikan pakaian sutera tersebut di antara wanita-wanitaku.” (HR. Al-Bukhari no. 5840 dan Muslim no. 5390)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, “Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu paham bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak senang ia mengenakan pakaian dari sutera. Maka ia pun memotong sutera tersebut hingga dapat digunakan sebagai kerudung lalu membagi-bagikannya kepada Fathimah bintu Rasulullah istrinya, Fathimah bintu Asad bin Hasyim ibunya, Fathimah bintu Hamzah bin Abdil Muththalib, sepupunya.” (Fathul Bari, 10/310)

Sutera dan emas merupakan pakaian/perhiasan yang diperuntukkan bagi wanita di dunia sehingga bila seorang lelaki memakainya berarti ia telah menyerupai wanita.

Keharaman sutera bagi laki-laki ini dikecualikan bila ada uzur seperti yang diberitakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan kepada Zubair ibnul Awwam dan Abdurrahman bin Auf -semoga Allah meridhai keduanya- untuk memakai sutera karena penyakit gatal-gatak yang diderita oleh keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 5839 dan Muslim no. 5398)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah menyatakan sebagaimana dinukilkan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah dalam Fathul Bari (10/308), “Hadits ini menunjukkan bahwa larangan memakai sutera (bagi laki-laki) dikecualikan bagi orang yang menderita penyakit yang penyakitnya itu dapat diringankan dengan memakai sutera.”

[3] Dalam hal ini terdapat hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885, 6834)

Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah memaknakan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas dengan, “Tidak boleh laki-laki menyerupai wanita dalam hal pakaian dan perhiasan yang khusus bagi wanita dan tidak boleh pula sebaliknya (wanita menyerupai laki-laki).” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menambahkan: “Demikian pula meniru cara bicara dan berjalan. Adapun dalam penampilan/bentuk pakaian, maka ini berbeda-beda dengan adanya perbedaan adat kebiasaan pada setiap negeri. Karena terkadang suatu kaum tidak membedakan model pakaian laki-laki dengan model pakaian wanita (sama saja), akan tetapi untuk wanita ditambah dengan hijab.” (Fathul Bari, 10/345)

Dalam Sunan Abi Dawud disebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud no. 3575, Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata, “Hadits ini hasan menurut syarat Muslim.”)

Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Al-Jami’ush Shahih (3/92) menempatkan hadits ini dalam kitab An-Nikah wath Thalaq, bab Tahrimu Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnya wanita menyerupai laki-laki), dan beliau membawakannya kembali dalam kitab Al-Libas, bab Tahrimu Tasyabbuhir Rijal bin Nisa’ wa Tasyabbuhin Nisa’ bir Rijal (Haramnxa laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki) (4/314).

[Faidah ini diambil dari artikel "Beberapa Perkara yang Perlu Diperhatikan Saat Hendak Shalat" oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari dalam majalah Asy Syariah no. 36/III/1428 H/2007, hal. 53-54]

No comments

Powered by Blogger.