Hukum Selamatan Setelah Kematian

Hukum Selamatan Setelah kematian - Oleh: Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
Soal: Bagaimana hukumnya mengadakan selamatan kematian?

Jawab:

Selamatan kematian adalah perbuatan bid’ah, baik 3 hari atau seminggu atau 40 hari, karena tidak ada keterangan yang menyatakan hal ini dilakukan oleh kaum muslim yang shalih pada generasi awal dahulu. Sekiranya perbuatan seperti ini baik menurut agama, niscaya mereka sudah melakukannya mendahului kita
Selamatan kematian membuang-buang uang, menghabiskan waktu, dan mungkin sekali di dalamnya terjadi kemungkaran-kemungkaran seperti meratap dan menyebut kebaikan atau keburukan si mati yang merupakan perbuatan yang masuk kategori dilaknat dalam agama. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang-orang yang meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan atau keburukan si mati.

Kemudian, mempergunakan harta peninggalan si mati untuk pembiayaan selamatan, misalnya sepertiganya, merupakan kejahatan terhadap si mati sebab harta tersebut digunakan atas nama si mati bukan untuk menjalankan ajaran agama Allah. Sekalipun biaya untuk selamatan diambil dari harta ahli waris, tetapi jika ternyata di antara ahli waris itu ada yang masih kecil atau yang lemah mental karena tidak dapat mengelola hartanya dengan baik, maka tindakan ini merupakan kejahatan terhadap mereka.
Demikianlah, sebab dalam mengelola hartanya setiap orang harus bertanggung jawab kepada Allah sehingga ia tidak dibenarkan mempergunakannya di luar hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Walaupun biayanya itu diambil dari harta orang-orang dewasa yang sudah baligh dan berpikir dewasa, tetapi jika mereka melakukan hal seperti ini, maka mereka termasuk orang yang lemah mental (dungu).

Demikianlah, sebab orang yang membelanjakan harta bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau memberi manfaat bagi kepentingan dunianya maka orang seperti ini dianggap lemah mental dan harta yang dibelanjakannya dipandang sia-sia, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang menyia-nyiakan harta. Wallahu waliyyut taufiiq.

(Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 305)


Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel