Header Ads

Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Pembatal Puasa

Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Pembatal Puasa - Kami tampilkan beberapa fatwa dari 'Ulama tentang beberapa pertanyaan seputar pembatal puasa. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Berikut Pertanyaan dan jawaban dari 'ulama:

1. PERTANYAAN: Saya (penanya) mempunyai seorang paman, saudara kandung dari ayah, yang telah lanjut usia, sehingga dia sudah tidak dapat mengenali dirinya dan tidak pula mengetahui apa yang ada di sekelilingnya. Keadaannya sudah seperti anak kecil, tidak mampu melaksanakan puasa tidak pula shalat. Saya mohon penjelasan, apakah harus mengeluarkan sesuatu untuk mengganti puasanya, sedangkan dia tidak mempunyai kemampuan untuk itu, seperti memberi makan orang miskin atau sedekah …dst?

JAWABAN:

Jika demikian kenyataan dan keadaannya, sebagaimana yang telah anda terangkan tentang keadaan pamanmu yang sudah tidak berakal lagi/tidak dapat mengenali manusia dan tidak pula mengetahui apa yang ada di sekelilingnya …dst, dan anda selalu berusaha untuk menegakkan apa yang menjadi kewajiban baginya, maka tidak wajib baginya shalat, puasa dan tidak pula memberi makan kepada fuqara dan kaum miskin. Shalawat dan salam kepada nabi kita Muhammad keluarga dan para shahabatnya.

2. PERTANYAAN: Apa hukum orang yang menghidupkan bulan Ramadhan dengan puasa, shalat, membaca Al-Qur’an dan dengan ibadah-ibadah yang lain …, sedangkan di luar bulan Ramadhan dia meremehkan semua perkara tersebut seakan-akan dia mengambil hal itu dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bulan Ramadhan ke bulan Ramadhan sebagai penghapus/penebus dosa yang ada di antara keduanya.”?

JAWABAN:

Barangsiapa bersungguh-sungguh di bulan Ramadhan dengan amalan shalih, sedangkan di selain Ramadhan menggampangkan/meremehkan amalan-amalan itu, maka orang tersebut dikhawatirkan tidak diterima amalannya, karena syarat sahnya taubat ialah bertekad untuk tidak kembali kepada perbuatan maksiat setelah taubat darinya. -Ketika sebagian orang salafush shalih ditanya tentang orang-orang yang demikian, dikatakan, bahwa mereka itu sejelek-jelek kaum yang tidak mengenal Allah, kecuali di bulan Ramadhan saja-. Tidak ada hujjah bagi mereka akan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Ramadhan ke Ramadhan menghapus dosa di antara keduanya,” karena lanjutan haditsnya menyatakan: “Selama dosa-dosa besar dijauhi.” Maka dosa-dosa yang dihapus dengan datangnya bulan Ramadhan dan selainnya hanyalah dosa-dosa kecil, sedangkan meremehkan shalat fardhu merupakan dosa besar yang paling besar dan perbuatan itu tidak akan dihapuskan, kecuali dengan taubat yang benar.

3. PERTANYAAN: Apa hukumnya menjalankan puasa sunnah, seperti enam hari di bulan Syawwal, pada tanggal 10 Dzul Hijjah, hari ‘Asyuraa bagi orang yang masih mempunyai hutang puasa Ramadhan dan belum diganti?

JAWABAN:

Yang wajib bagi orang tersebut mengqadha puasa Ramadhannya sebelum menjalankan puasa sunnah, karena kewajiban itu lebih penting daripada nafilah, sesuai dengan pendapat yang shahih dari ucapan ahli ilmu.

4. PERTANYAAN: Saudara wanita saya (penanya) sengaja mengeluarkan apa yang ada di dalam perutnya (memuntahkan) kemudian sengaja memakan makanan, maka apa yang wajib dilakukan olehnya?

JAWABAN:

Tidak diperkenankan bagi orang yang berpuasa sengaja mengeluarkan isi perutnya dengan cara memasukkan tangan ke dalam rongga mulutnya atau menjadikan di bawah perutnya atau mencium sesuatu yang berbau yang bisa menggerakkan makanan yang ada di dalam perut dan selainnya sampai keluar isi perutnya. Kapan saja hal ini dilakukan oleh orang yang berpuasa, maka ada keharusan baginya mengganti puasa, jika puasa itu puasa wajib. Sedangkan perempuan tersebut dia telah terjerumus ke dalam kekeliruan: pertama, sengaja memuntahkan isi perutnya; kedua, sengaja memakan makanan setelah itu. Sesungguhnya orang yang telah merusak puasanya dengan sengaja dibarengi dengan melakukan sebagian hal-hal yang membatalkan puasa tidak diperkenankan baginya untuk makan dan lainnya, bahkan dia harus menahan dirinya (dari makan dan minum) di sisa hari ketika dia berbuka dengan sengaja tersebut, walaupun dia diharuskan mengqadha puasanya (membayar puasanya di hari lain). Dan mungkin dia akan merasakan sakit atau lemah pada badannya, namun dengan itu semua tidak ada kewajiban baginya membayar kaffarah -insya Allah-. Wallahu a’lam.

5. PERTANYAAN: Saya (penanya) menghabiskan waktu siang hari dalam puasa saya dengan tidur, yang mana aku tidak mampu bekerja dikarenakan rasa lapar dan dahaga yang sangat, apakah hal ini berpengaruh dengan sahnya puasa saya?

JAWABAN:

Apa yang anda lakukan ini tidak mempengaruhi sahnya puasa dan dalam hal ini terdapat tambahan pahala sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Pahalamu sesuai dengan kadar kesungguhanmu.” Maka setiap bertambah kelelahan seseorang, bertambah pula pahalanya dan baginya dapat melakukan apa-apa yang bisa meringankan ibadahnya, seperti mandi dengan air dan duduk di tempat yang teduh.

6. PERTANYAAN: Apakah mimpi junub (mimpi dengan mengeluarkan sperma) pada malam hari dapat merusak puasa seseorang?

JAWABAN:

Mimpi junub itu merupakan hal yang dipaksakan, bukan hasil usaha manusia dan tidak ada daya upaya untuk menolaknya. Maka bila seorang yang berpuasa mimpi junub di siang hari, tidaklah membatalkan puasanya, walaupun berulang-ulang, karena hal itu terjadi di saat seorang sedang tidur. Dan bagi orang yang tidur itu telah diangkat darinya pena (untuk catatan amal -ed.) sampai dia bangun dari tidurnya. Adapun mimpi junub pada malam hari, maka saya tidak mengetahui dari seorangpun yang mengatakan batalnya puasa tersebut, bahkan jima’ (menyetuhi istrinya) pada malam hari di bulan Ramadhan dibolehkan sesuai dengan firman Allah Ta’ala:

“Dihalalkan buat kalian pada malam puasa untuk menggauli istri-istri kalian.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Adapun berjima’ di siang hari bulan Ramadhan membatalkan puasa dan orang yang melakukannya wajib untuk membayar kaffarah. Wallahu a’lam.

7. PERTANYAAN: Apa hukum seorang (laki-laki) yang berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahramnya di siang hari bulan Ramadhan dan si lelaki meminta kepada si wanita untuk membuka auratnya guna memuaskan syahwatnya, tanpa melakukan hubungan seks. Namun, cumbu rayu itu berakibat sampai mengeluarkan sperma, apakah puasa orang yang seperti ini benar? Jika tidak sah puasanya, apakah ia hanya wajib mengqadha’ atau mengqadha’ dan membayar kaffarah?

JAWABAN:

Bila keadaannya demikian, maka si lelaki dan si wanita tersebut telah berdosa akibat perbuatan khalwat (berduaan, ed.) yang mereka lakukan berdua dan membuka auratnya agar si lelaki dapat menikmatinya. Maka mereka hendaknya memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dengan taubat yang benar lagi jujur. Dan bagi orang yang tidak mengeluarkan sperma tidak ada kewajiban untuk mengqadha’ puasa hari itu. Adapun yang sampai mengeluarkan sperma dari salah satunya, maka wajib baginya untuk mengqadha’ (mengganti puasanya di hari lain) tanpa membayar kaffarah, karena membayar kaffarah itu wajib bagi orang yang melakukan hubungan seks saja secara khusus di siang hari pada bulan Ramadhan, walaupun tidak sampai mengeluarkan sperma.

8. PERTANYAAN: Apa hukum menggunakan suntikan yang dimasukkan ke urat leher dan suntikan yang dimasukkan ke otot …. Apa perbedaan antara keduanya bagi orang yang berpuasa?

JAWABAN:

Yang benar, bahwa keduanya tidak membatalkan puasa. Sedangkan yang membatalkan puasa hanyalah cairan infus secara khusus. Demikian pula mengambil darah untuk donor, hal itu tidak membatalkan puasa, karena donor darah tidak sama dengan hijamah (canduk/bekam). Adapun hijamah, orang yang menghijamah dan yang dihijamah keduanya batal puasanya menurut pendapat ulama yang paling shahih, sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Telah berbuka orang yang membekam dan yang dibekam.”

9. PERTANYAAN: Apa hukum menggunakan pasta gigi, tetesan telinga, tetesan hidung dan tetesan mata bagi orang yang berpuasa dan apa pula hukumnya bila ia mendapati rasa dari tetesan (hidung dan mata) tersebut di kerongkongannya?

JAWABAN:

Membersihkan gigi dengan pasta gigi tidaklah membatalkan puasa, seperti siwak, tetapi wajib untuk berhati-hati agar jangan sampai masuk ke dalam rongga kerongkongannya. Jika masuk hanya sedikit darinya tanpa ada unsur kesengajaan, maka tidak perlu dia mengqadha puasanya. Demikian pula tetesan mata dan telinga keduanya tidak membatalkan puasa sesuai dengan pendapat ulama yang shahih.

Jika didapati rasa tetesan di dalam kerongkongan, maka mengqadhanya dalam rangka hati-hati (ihtiyath) saja dan tidak wajib, karena keduanya bukanlah tempat dilaluinya makanan dan minuman. Adapun tetesan di hidung, maka tidak dibolehkan, karena hidung tempat pelaluan, oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Dan bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), kecuali kalau kamu dalam keadaan puasa.”

Maka bagi orang yang melakukan hal itu wajib untuk mengqadha puasanya berdasarkan hadits ini dan apa yang ada dalam maknanya, jika didapati rasa keduanya di dalam kerongkongan. Wallahu waliyyut taufiq.

10. PERTANYAAN: Apabila seorang yang berpuasa mendapati rasa sakit pada giginya, lalu ia mendatangi dokter dan si dokter melakukan pembersihan atau mencabut salah satu giginya, apakah hal ini berpengaruh terhadap puasanya? Seandainya dokter tersebut juga memberikan suntikan bius untuk giginya, adakah hal itu mempengaruhi puasanya?

JAWABAN:

Tidak ada pengaruh apapun atas keabsahan puasanya, bahkan hal itu merupakan hal yang dimaafkan dan wajib baginya untuk menjaga agar tidak menelan sesuatu dari obat atau darah. Demikian pula, suntikan tersebut tidak mempengaruhi keabsahan puasa, karena perkara itu tidak mengandung makna makan dan minum…. Maka hukum asalnya adalah sah dan selamat puasanya.

11. PERTANYAAN: Apa hukum orang yang makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan dalam keadaan lupa?

JAWABAN:

Tidak mengapa, puasanya sah sesuai dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala:

“Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Dan telah shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa Allah Ta’ala berfirman: “Telah aku lakukan.” Dan juga telah terdapat riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:

“Barangsiapa yang lupa sedangkan ia dalam keadaan puasa, makan dan minum, hendaklah ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikian pula bila ia berjimak dengan istrinya karena lupa di siang hari bulan Ramadhan, maka puasanya (tetap) sah sesuai dengan pendapat ulama yang paling shahih, berdasarkan ayat dan hadits yang mulia tersebut dan sesuai pula dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:

“Barangsiapa berbuka di bulan Ramadhan dalam keadaan lupa, maka tidak ada qadha baginya dan tidak pula kaffarah.” (Hadits ini telah dikeluarkan dan dishahihkan oleh Al-Hakim)

Lafadz ini meliputi: jima’/bersetubuh dan selainnya dari hal-hal yang membatalkan puasa, bila dilakukan oleh orang yang berpuasa karena lupa. Dan ini merupakan rahmat Allah Ta’ala, keutamaan dan kebaikan-Nya. Segala puji bagi-Nya dan syukur atas kenikmatan-Nya.

12. PERTANYAAN: Apa hukum orang yang meninggalkan qadha puasa sampai datang Ramadhan berikutnya, tanpa ada udzur, apakah cukup baginya bertaubat disertai mengqadha atau harus membayar kaffarah?

JAWABAN:

Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memberi makan seorang kaum miskin setiap harinya disertai dengan mengqadah, yaitu setengah sha’ ukuran tangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari hasil pangan negeri, seperti: kurma atau gandum, beras atau selainnya. Dan perkiraan ukurannya adalah satu setengah kilogram. Dan tidak ada kafarah untuknya selain itu, sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antaranya: Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Adapun jika ia mempunyai udzur sakit, safar atau seorang wanita yang terhalang oleh kehamilan atau menyusui yang akan memberatkan kalau dia menjalankan puasa, maka tidak wajib bagi mereka mengqadha.

13. PERTANYAAN: Apa hukum keluar darah bagi orang yang berpuasa, seperti keluar darah dari hidung dan selainnya? Dan apakah boleh bagi orang yang berpuasa menyumbangkan atau mengambil sedikit darahnya untuk donor?

JAWABAN:

Keluarnya darah dari orang yang berpuasa, seperti darah yang keluar dari hidung dan darah istihadhah (bagi wanita -pent.) dan selain keduanya, tidaklah merusak puasa. Yang merusak puasa adalah darah haid, nifas serta hijamah (canduk/bekam).

Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa melakukan transfusi darah sesuai dengan keperluaannya dan hal itu tidak akan merusak puasanya. Dan donor darah yang paling baik dilakukan setelah waktu berbuka, karena pada saat itu darah akan keluar banyak sekali, menyerupai hijamah. Wallahu waliyyut taufiq.

14. PERTANYAAN: Apa hukum menggunakan penyemprot di mulut bagi orang yang berpuasa di siang hari untuk orang yang berpenyakit asma dan selainnya?

JAWABAN:

Hukumnya boleh, apabila terpaksa untuk melakukannya, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla:

“Kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.” (QS. Al-An’aam: 119)

Di samping itu, bahwa yang dilakukannya itu tidaklah menyerupai makanan dan minuman, akan tetapi menyerupai pengambilan darah untuk didonorkan dan suntikan yang tidak mengenyangkan (suntikan yang tidak sejenis dengan infus -pent.).

15. PERTANYAAN: Apa hukum bagi orang yang berpuasa disuntik untuk suatu keperluan?

JAWABAN:

Hukumnya tidak dilarang dalam hal itu, apabila dibutuhkan oleh orang yang sakit menurut pendapat ulama yang paling shahih. Dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan sekelompok besar dari kalangan ahli ilmu, karena tidak ada persamaannya dengan makanan dan minuman.

16. PERTANYAAN: Apa hukum mengubah darah (cuci darah) bagi orang yang sakit gagal ginjal, padahal sedang berpuasa, haruskah dia mengqadha?

JAWABAN:

Diharuskan mengqadha dengan alasan adanya penambahan darah yang bersih tersebut. Dan bila penambahannya itu bersama dengan materi yang lain, maka hal itu adalah pembatal yang lain.

17. PERTANYAAN: Apakah orang-orang yang sedang memerangi musuh di medan perang (jihad) diperbolehkan untuk berbuka (tidak puasa) di bulan Ramadhan dan mengganti setelahnya (qadha)?

JAWABAN:

Apabila mereka yang memerangi orang-orang kafir dalam keadaan musafir, boleh baginya mengqashar shalat dan diperkenankan pula untuk berbuka dengan kewajiban bagi mereka untuk mengganti (qadha) setelah bulan Ramadhan. Dan jika tidak dalam keadaan musafir, yakni bahwa orang-orang kafir melakukan penyerangan terhadap negeri/kota mereka, maka bagi siapapun yang mampu berpuasa sambil berjihad, wajib berpuasa dan bagi yang tidak mampu mengumpulkan antara puasa dan jihad, boleh baginya untuk berbuka dan wajib baginya mengqadha puasa sesuai dengan hari yang ditinggalkan selepas bulan Ramadhan.

Sumber: Tuntunan Ibadah Ramadhan & Hari Raya oleh Syaikh Bin Baz, Syaikh Bin Utsaimin dll

No comments

Powered by Blogger.