Kesesatan Ajaran Sufi / Tassawuf -->

Header Menu

Kesesatan Ajaran Sufi / Tassawuf

Hamba Alloh
25 March 2013

Kesesatan Ajaran Sufi / Tassawuf

  1. Wihdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian Allah dapat menjelma dalam bentuk juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah tertentu dari makhluk-Nya (inkarnasi).

    Al-Hallaj, seorang dedengkot sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin 'Ali Iwaji, 2/600)

    Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba. Duhai kiranya, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

    Muhammad Sayyid At-Tijani bahwasanya beliau meriwayatkan (secara dusta) dari Nabi bersabda:

    رَأَيْتُ رَبِّي فِي صُوْرَةِ شَابٍ

    “Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.”(Jawahirul Ma’ani, karya 'Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

    Padahal Allah telah berfirman:

    لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْئٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

    “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

    قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي ...


“Berkatalah Musa: 'Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.' Allah berfirman: 'Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihatku'…" (Al-A’raf: 143)







  • Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!” (Fushushul Hikam). Betapa kufurnya kata-kata ini…, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini?
  • Keyakinan kafir bahwa Allah adalah makhluk, masing-masing saling menyembah kepada yang dan makhluk adalah Allah lainnya
    Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah)
    Padahal Allah telah berfirman:

    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ

    “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

    إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ إِلاَّ آتِى الرَّحْمَنِ عَبْدًا

    “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam: 93)
  • Keyakinan tidak ada bedanya antara agama-agama yang ada, Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.” (Al-Futuhat Al-Makkiyyah)

    Jalaluddin Ar-Rumi, seorang tokoh sufi yang sangat kondang, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama… masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”

    Padahal Allah berfirman:

    وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِيْنًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

    “Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya. Dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran: 85)
  • Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih, Ibnu ‘Arabi berkata: “Kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawi-perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyif (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?” Maka beliau kepada Nabi mengingkarinya seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.” Maka diketahuilah, dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak bisa diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkannya berdasarkan isnadnya yang shahih.” (Al-Futuhat Al-Makkiyah)
  • Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat. Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat . Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi,keyakinan yang tinggi kepada Allah gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

    Mereka berdalil dengan firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99:

    وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

    “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat. Hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, 11/401)

    Beliau juga berkata: “Adapun pendalilan mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata: tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang 'Sesungguhnya Allah beriman selain kematian', kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: 'Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian'."

    Beliau melanjutkan: "Dan bahwasanya 'Al-Yaqin' di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.” (Majmu Fatawa, 11/418)
  • Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah Tidak boleh mengharap surga atau di jauhkan dari neraka Allah berfirman:

    وَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِيْنَ

    “Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” ('Ali Imran: 131)

    وَسَارِعُوآ ِإلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَاْلأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَ

    “Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” (Ali Imran: 133)








  • Dzikirnya orang-orang awam adalah لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “الله / Allah”, “هُوَ / huwa”, dan “آه / aah” saja. Padahal Rasulullah bersabda:

    أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلَهِ إِلاَّ اللهُ

    “Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .” (HR. , dihasankan oleh Asy-SyaikhAt-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).

    Syaikhul Islam rahimahullah berkata: “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هُوَ / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al-'Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)
  • Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

    Padahal Allah firman-Nya :

    قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللهُ

    “Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An-Naml: 65)
  • Keyakinan dari nur/ cahaya-Nya, dan Allah menciptakan Nabi Muhammad bahwa Allah . ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad

    Padahal Allah berfirman :

    فُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ ...

    “Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al-Kahfi: 110).

    إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلآئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِيْنٍ

    “(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shad: 71)








  • Keyakinan bahwa Allah menciptakan dunia. ini karena Nabi Muhammad

    Padahal Allah berfirman :

    وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ

    “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
  • Demikianlah beberapa dari sekian banyak ajaran Tasawuf, yang dari ini menjauhkan kita darisaja, nampak jelas kesesatannya. Semoga Allah kesesatan-kesesatan tersebut …

    Keterkaitan Antara Sufi dengan Kelompok “JI”


    Keterkaitan antara Sufi dengan kelompok “JI” (Jama'ah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin) sangatlah erat karena pendiri kelompok “JI” ini adalah seorang Sufi. Jama'ah Tabligh, didirikan oleh Muhammad Ilyas Al-Kandahlawi seorang Sufi dari tarekat Jisytiyyah. Dan seiring bergulirnya waktu, Jama'ah Tabligh kemudian berbai’at di atas empat tarekat Sufi: Jisytiyyah, Qadiriyyah, Sahruwardiyyah, dan Naqsyabandiyyah. (Lihat kitab Jama’atut Tabligh Mafahim Yajibu An Tushahhah, karya Asy-Syaikh Hasan Janahi, hal. 2, 12.)

    Adapun Ikhwanul Muslimin, pendirinya adalah Hasan Al-Banna, seorang Sufi dari tarekat Hashafiyyah, sebagaimana yang ia katakan sendiri: “…Di Damanhur aku bergaul dengan kawan-kawan dari tarekat Hashafiyyah dan setiap malamnya aku selalu mengikuti acara hadhrah yang diadakan di Masjid At-Taubah…”

    Ia juga berkata: “Terkadang kami berziarah ke daerah Azbah Nawam, karena di sana terdapat makam Asy-Syaikh Sayyid Sanjar, salah seorang dari tokoh tarekat Hashafiyyah.” (Mudzakkiratud Da’wah Wad Da’iyah, hal. 19, 23, dinukil dari kitab Fitnatut Takfir Wal Hakimiyah, karya Muhammad bin Abdullah Al-Husain, hal. 63-64)
    Wallahu a’lam bish shawab.